SAMPANG – LACAKPOS.CO.ID – Dewasa ini dinamika proses penegakan hukum (law inforcement) mulai dirasakan terutama kalangan masyarakat bawah dengan adanya perlakuan yang sama bagi setiap orang di depan hukum ( equality before off the Law), seolah sudah berganti paradigma yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar, atau dalam istilah hukum “timpang sebelah.”
Adanya ketidakadilan hukum di Indonesia atau dalam tanda kutip “Tajam ke bawah dan Tumpul ke atas” dan maksud dari istilah tersebut adalah salah satu sindiran nyata bahwa keadilan di negeri ini pernah terjadi dan banyak contoh kasus posisi dan bahkan diputus pada tingkat peradilan tanpa mempetimbangkan adagium hukum “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah, “namun itu semua menjadi kemerdekaan hakim untuk memberikan putusan.
Atas permohonan Restorative Justice dari Tersangka dan atau Kuasa Hukumnya yang diajukan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat Tahap Dua (T-2) dengan Tersangka Mustofa bin Misden domisili di Dusun Burajah Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang yang diduga melakukan tindakan melawan hukum Penelantaran Istri (an. Siyamah, koreksi dari pemberitaan sebelumnya) dan Anak sebagaimana diatur pada pasal 49 huruf A Undang-Undang No.23 Tahun 2004 diancam pidana 3 tahun penjara atau denda Rp.15.000.000.
Patut diapresiasi terobosan yang dilakukan Jajaran Kejaksaan Negeri Sampang, Rabu (19/01/2022) permohonan Restorative Justice ditindaklanjuti oleh Kajari sampang, Imang Job Marsudi dengan melakukan ekspose perkara via Video Confrence (Vicon) dengan Jajaran Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Kejaksaan Agung yang dipimpin oleh Jaksa Agung Tindak Pidana Umum (Jampidum), Dr. Fadil Zumhana, S.H.,M.H.
“Alhamdulillah dengan pertimbangan sebagaimana diatur pada Pasal 14 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Dr. Mohammad Dofir,S.H.,M.H dan Jampidum, Dr. Fadil Zumhana, S.H.,M.H, menyetujui Permohonan Restorative Juctise dan perkara tersebut dihentikan dan selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri Sampang menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2),” kata Imang Job Marsudi, Kamis (20/01/2022).
Menariknya, kasus posisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ini berawal dilakukan penyidikan oleh Satuan Reskrim Polres sampang sedangkan Pimpinan Polri sudah menerbitkan norma sejak 2018 dengan SE Kapolri Nomor : 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana yang ditanda tangani Kapolri saat itu Jenderal Pol. Prof. H. Muhammad Tito Karnavian, Ph.D tanggal 27 juli 2018 bahkan yang terakhir diperbaharui dengan Perkapolri Npmor : 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Terkait langkah RJ yang dilakukan Kejaksaan Negeri Sampang itu, sebenarnya disini kalo tidak salah LP-nya bulan april 2021, pada unit kita sudah melakukan hal yang sama bahkan 2 (dua) kali namun tidak menemukan kata sepakat ke arah penyelesaian hingga kami proses lanjut limpah ke JPU, Alhamdulillah jika di Kejari dapat dilakukan RJ”, ucap Iptu Agung selaku KBO Reskrim mewakili Kasat Reskrim ketika dimintai tanggapan awak lacakpos, Jum’at (21/01/2022).
Namun ketika awak lacakpos mempertanyakan seberapa banyak proses perkara yang ditangani Satreskrim Polres Sampang saat ini baik pada tahap penyelidikan maupun yang sudah naik ke tahap penyidikan penanganannya berpeluang diselesaikan sebagaimana SE Kapolri Nomor : 8/VII/2018, Iptu Agung tidak memberikan jawaban detail sampai berita ini ditayangkan.(Abdul)