KPU Tanah Datar: Ketika Independensi Tergelincir di Tikungan Etika

Oleh: Joni Hermanto, S.H.
Advokat dan Wartawan Utama

Dalam ranah kelembagaan publik, integritas bukan sekadar kata yang indah terucap dalam sumpah jabatan, melainkan ruh yang menjiwai setiap keputusan dan tindakan pejabat publik. Ia adalah nyala kecil yang menerangi gelapnya potensi penyalahgunaan wewenang. Namun, ketika nyala itu meredup oleh ambisi pribadi dan kesadaran etik yang menipis, maka lahirlah perkara yang kini menampar wajah lembaga yang seharusnya menjadi penjaga kedaulatan rakyat: Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Kasus yang menyeret Ketua KPU Kabupaten Tanah Datar Dicky Andrika menjadi anggota Panitia Seleksi (Pansel) Baznas adalah potret betapa rapuhnya pemahaman batas kewenangan dan etika penyelenggara pemilu. Dicky Andrika yang dalam hal ini berstatus sebagai Terduga Pelanggar/Teradu berdalih bahwa keterlibatan dirinya dalam Pansel diperlukan untuk melakukan pelacakan calon pimpinan Baznas yang terindikasi memiliki afiliasi politik — justru memperlihatkan kekeliruan mendasar tentang fungsi dan mandat konstitusional KPU.

Kewenangan yang Menyimpang dari Rel Konstitusi

Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “Komisi Pemilihan Umum bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Mandiri berarti bebas dari segala bentuk intervensi politik maupun lembaga lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam konteks ini, keterlibatan penyelenggara KPU dalam kegiatan seleksi lembaga keagamaan seperti Baznas bukan hanya di luar tugas pokok dan fungsi (tupoksi) lembaga, tetapi juga menabrak prinsip netralitas dan independensi.

Landasan hukum yang mempertegas hal ini tertuang dalam Pasal 9 ayat (2) huruf e Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, yang secara eksplisit melarang anggota KPU merangkap jabatan atau melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan benturan kepentingan. Maka alasan apapun yang digunakan teradu, tidak dapat membenarkan langkah yang secara hukum telah menyimpang dari garis etik lembaga.

Cermin Etika yang Retak

KPU Provinsi Sumatera Barat melalui pengawasan internalnya menemukan fakta bahwa teradu terbukti melanggar kode perilaku, sumpah/janji jabatan, dan pakta integritas. Hasil pemeriksaan itu kemudian direspons dengan dikeluarkannya Keputusan KPU RI Nomor 854 Tahun 2025 yang memberikan sanksi peringatan keras tertulis kepada Ketua merangkap Anggota KPU Tanah Datar tersebut.

Secara yuridis, keputusan ini memiliki dasar yang kuat dalam Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan bahwa “Anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku dikenai sanksi oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).” Meskipun sanksi administratif diberikan oleh KPU RI, secara moral pelanggaran ini sudah berada di wilayah etik yang dapat ditindaklanjuti oleh DKPP, sebagai penjaga marwah penyelenggara pemilu.

Moralitas Publik dan Tanggung Jawab Etik

Seorang penyelenggara pemilu ibarat cermin di tengah ruang publik: ia harus jernih agar kepercayaan rakyat tidak terdistorsi. Tatkala cermin itu retak, maka yang tampak bukan lagi wajah demokrasi, melainkan bayangan kepentingan pribadi yang menodai kesucian mandat rakyat. Dalam teori etika publik, tindakan semacam ini dapat dikategorikan sebagai conflict of commitment , yakni kondisi ketika seorang pejabat terlibat dalam aktivitas di luar tugas pokoknya sehingga mengganggu loyalitas dan objektivitas terhadap lembaga asalnya.

Sanksi yang dijatuhkan KPU RI hendaknya tidak dipahami sebagai bentuk penghukuman semata, melainkan sebagai tindakan restoratif terhadap integritas lembaga. Sebab sebagaimana diingatkan filsuf politik Hannah Arendt, “Kekuasaan tanpa tanggung jawab hanyalah bentuk lain dari kehampaan moral.”

Penutup: Pelajaran dari Luka Etik

Peristiwa ini memberi pelajaran berharga bahwa penyelenggara pemilu bukan sekadar pelaksana teknis, tetapi juga penjaga moralitas demokrasi. Setiap langkahnya adalah representasi dari kehendak rakyat yang dititipkan melalui konstitusi. Maka, ketika satu orang lalai menjaga batas etik, yang tercoreng bukan hanya dirinya, melainkan kredibilitas seluruh lembaga.

Kita patut mengapresiasi ketegasan KPU RI dan KPU Provinsi Sumatera Barat dalam menegakkan disiplin etik internal. Namun, langkah ini harus berlanjut dengan pembinaan, bukan hanya hukuman. Karena yang kita butuhkan bukan sekadar pejabat yang patuh pada aturan, tetapi pejabat yang sadar secara moral.

Dan di titik inilah demokrasi menemukan maknanya, bukan pada siapa yang berkuasa, melainkan pada bagaimana kekuasaan itu dijaga agar tetap bermartabat.

Tanah Datar, 25 October 2025

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *