Oleh: Joni Hermanto, S.H. – Advokat dan Wartawan Utama
Abstrak
Tulisan ini mengkaji praktik penyimpangan dalam penegakan hukum terhadap korban penyalahgunaan narkotika, khususnya di Kejaksaan Negeri Tanah Datar. Meskipun arah kebijakan Jaksa Agung Republik Indonesia telah menegaskan bahwa pengguna narkotika harus diarahkan untuk rehabilitasi, bukan penjara, praktik di lapangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Berdasarkan data dan analisis hukum, tulisan ini mengungkap kegagalan sistemik dalam mengimplementasikan asas keadilan restoratif serta pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 54 dan 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kajian ini merekomendasikan reformasi penegakan hukum agar sejalan dengan kebijakan humanis dan pendekatan kesehatan publik.
Pendahuluan
Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika di Indonesia masih menyisakan problem serius antara pendekatan represif dan pendekatan rehabilitatif. Dalam berbagai kesempatan, Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin, telah menegaskan bahwa: “Bagi jaksa, melimpahkan pengguna narkoba ke pengadilan adalah hal yang haram. Mereka harus diarahkan untuk menjalani rehabilitasi, bukan dipenjara.”¹ Namun, di sejumlah daerah, arah kebijakan tersebut justru diabaikan. Kasus-kasus di Tanah Datar, Sumatra Barat, menunjukkan bahwa banyak pengguna yang seharusnya direhabilitasi justru dijatuhi hukuman pidana penjara. Fenomena ini menandakan ketidakkonsistenan antara kebijakan nasional dan praktik hukum di lapangan.
Analisis Hukum dan Kebijakan Penegakan Hukum
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.² Norma ini bersifat imperatif, bukan fakultatif. Artinya, aparat penegak hukum—termasuk jaksa—tidak memiliki diskresi untuk mengabaikannya. Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 dan Pedoman Nomor 11 Tahun 2021 memperkuat mandat tersebut dengan mengatur bahwa penuntut umum wajib mempertimbangkan hasil asesmen terpadu sebagai dasar untuk mengarahkan perkara ke rehabilitasi.³ Namun dalam praktik, pedoman ini sering kali diabaikan.
Kasus di Kejaksaan Negeri Tanah Datar
Kejaksaan Negeri Tanah Datar menjadi contoh nyata lemahnya implementasi kebijakan hukum rehabilitatif. Dalam perkara Nomor 1/Pid.Sus/2025/PN Bsk atas nama terdakwa Riko Pratama, jaksa melimpahkan perkara dengan dakwaan alternatif, yakni Pasal 114 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), dan Pasal 127 ayat (1). Di tingkat pertama, Riko Pratama dijatuhi pidana 7 tahun penjara subsider Rp. 1 Miliar berdasarkan dakwaan alternatif pertama (Pasal 114 ayat (1)), namun di tingkat banding, pengadilan mengubah pasalnya menjadi Pasal 127 ayat (1) dengan hukuman 2 tahun 6 bulan. Putusan kasasi kemudian memperbaiki hukuman menjadi 1 tahun 6 bulan. Hal serupa terjadi pada perkara Nomor 75/Pid.Sus/2025/PN Bsk atas nama Isrizal, yang didakwa secara alternatif dan dijatuhi pidana 6 tahun 6 bulan penjara berdasarkan Pasal 112 ayat (1). Dalam hal ini penulis belum mendapatkan salinan putusan lengkapnya, jadi belum bisa mengungkap fakta persidangan apakah ada saksi atau alat bukti yang menunjukkan bahwa terdakwa merupakan pengedar narkotika, namun berdasarkan amar putusan samaseklai tidak ada alat bukti yang mengarah bahwa terdakwa adalah seorang pengedar, justru dengan alat bukti yang ada mengindikasikan bahwa terdakwa adalah korban penyelahgunaan narkotika.
Data Empiris dan Ketimpangan Praktik
Data Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2024 menunjukkan bahwa 79% pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia adalah pengguna, bukan pengedar.⁴ Namun, hanya 18% dari mereka yang diarahkan ke rehabilitasi. Penelitian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tahun 2023 menyebutkan bahwa lebih dari 65% perkara pengguna berakhir dengan vonis pidana penjara.⁵ Ini menunjukkan adanya kesenjangan serius antara norma hukum dan pelaksanaan kebijakan di tingkat kejaksaan dan pengadilan.
Langkah Hukum dan Advokasi
Korban penyalahgunaan narkotika memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan perlakuan adil dan proporsional. Apabila jaksa memaksakan perkara untuk disidangkan tanpa mempertimbangkan hasil asesmen terpadu, maka korban dapat: (1) melaporkan tindakan jaksa kepada atasan langsung hingga Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, (2) mengajukan eksepsi di persidangan bahwa perkara seharusnya diselesaikan melalui mekanisme rehabilitasi, (3) menuntut status justice collaborator apabila bersedia membantu pengungkapan jaringan yang lebih besar, dan (4) menyampaikan nota pembelaan yang menekankan hak rehabilitasi sebagaimana dijamin undang-undang.
Meskipun hasil asesmen terpadu merekomendasikan agar terdakwa diproses melalui jalur hukum pidana, namun Jaksa Penuntut Umum berdasarkan asas kemandiriannya (independensi institusional) semestinya tidak serta-merta menjadikan hasil tersebut sebagai satu-satunya dasar penentuan langkah hukum. Jaksa, sebagai pengendali perkara (dominus litis), memiliki kewajiban etik dan yuridis untuk melakukan kajian substantif terhadap kelayakan terdakwa — apakah lebih tepat dilimpahkan ke pengadilan atau diarahkan pada program rehabilitasi medis maupun sosial sesuai amanat Pasal 103 dan 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pendekatan ini tidak hanya menegakkan hukum secara formil, tetapi juga memastikan keadilan substantif dengan memperhatikan aspek kemanusiaan dan tujuan pemidanaan yang bersifat reintegratif.
Reformasi Sistemik Penegakan Hukum Narkotika
Upaya reformasi harus dimulai dari penegakan komitmen di internal Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung telah memberikan arah kebijakan yang jelas, namun implementasi di tingkat daerah masih jauh dari ideal. Diperlukan pengawasan ketat terhadap jaksa penuntut umum yang tidak mematuhi pedoman rehabilitasi, serta penguatan kapasitas aparat dalam membedakan antara pengguna, korban penyalahgunaan, dan pengedar. Pengadilan juga diharapkan lebih aktif memerintahkan rehabilitasi bagi terdakwa yang terbukti hanya sebagai pengguna.
Catatan Penulis: Menegakkan Keadilan Rehabilitatif di Tanah Datar
Sebagai advokat dan wartawan utama yang mengikuti langsung berbagai proses hukum di Tanah Datar, penulis menyaksikan bahwa banyak pengguna narkotika yang sejatinya membutuhkan pertolongan medis, bukan jeruji besi. Penegakan hukum yang mengabaikan aspek rehabilitatif tidak hanya melanggar hukum positif, tetapi juga merusak keadilan substantif. Saatnya Kejaksaan menegakkan instruksi Jaksa Agung secara konsisten demi tercapainya keadilan yang berorientasi pada kemanusiaan dan kesehatan publik.
Daftar Pustaka
¹ Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin, dalam siaran pers Kejaksaan Agung RI, 2023.
² Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
³ Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Narkotika.
⁴ Data Badan Narkotika Nasional (BNN), Laporan Tahunan 2024.
⁵ ICJR, Laporan “Kebijakan Hukum Narkotika dan Keadilan Restoratif”, Jakarta, 2023.